Imam Mahmud dan Ceramahnya
Cerita ini bermula belasan tahun silam. Ketika bulan ramadhan. Seorang
penceramah diundang. Mengisi ceramah di sebuah masjid kecil. Di kampung kami.
Di bawah lereng Gunung Babara, Kabupaten Sinjai. Akses jalan masih belum mulus. Sebagian masih
tanah. Meski beberapa titik sudah ditimbun batuan kecil.
Nama penceramah itu Pak Mahmud. Kebanyakan orang memanggilnya Imam
Mahmud. Maaf jika salah ingat-- tolong dikoreksi. Bagi teman-teman yang
mengenali. Beliau adalah seorang imam kelurahan. Di kampung. Jika mau ke
rumahnya. Sangat mudah.
Semua orang, barangkali mengenalnya. Satu kampung. Satu kelurahan. Maka
sulit rasanya akan tersesat. Jika ingin menemuinya. Rumahnya sangat sederhana.
Tepatnya di sebuah jalan. Ke arah utara. Di belakang pasar lama Bikeru. Menuju
sebuah kampung Buhung Tembo’.
Saya teringat kisah ini. Begitu nyaring dan renyah. Ketika seorang
kawan di facebook. Tidak sengaja berkomentar. Tentang anjing-- asu dalam bahasa
bugis. Blink-- begitu saja. Tentang ceramah Imam Mahmud. Di masjid kecil
belasan tahun silam itu.
Saya sudah lupa tema ceramahnya. Yang pasti, Imam Mahmud bercerita
tentang tiga binatang. Ada Anjing, Kambing dan Monyet. Sangat membekas
diingatan saya. Ketika itu, saya bahkan tertawa. Ngakak malahan. Karena ceramah
satire itu.
Di atas mimbar kayu. Imam Mahmud bercerita. Suatu ketika Anjing,
Kambing dan Monyet bertemu. Dalam sebuah majelis binatang. Berdiskusi tentang
kehidupan. Dan juga tentang ketiga binatang itu menjalani hidupnya. Seperti
selayaknya binatang.
Dalam diskusi yang amat serius itu. Ketiga binatang ini saling
membanggakan diri. Tentang hidupnya. Mula-mula si Anjing. Dia mengaku sangat
bersyukur. Atas hidup dan kehidupannya di dunia. Terlahir sebagai Anjing.
Ketika barang tuannya hendak dicuri. Anjing akan menggonggong.
Bahkan menggigit si pencuri itu. Berharap pencuri itu pergi. Atau
paling tidak tuannya bangun. Lalu si pencuri pergi. Agar tidak ketahuan. Juga tertangkap--
berbahaya. Emosi massa sulit terkendali. Kayu mungkin bisa menghantam.
Barangkali juga parang.
Maka itulah yang disyukuri si Anjing. Dapat berguna dan bermanfaat.
Untuk tuannya yang memberinya makan. Walau kadang hanya nasi basi. Dan tulang
belulang. Juga tempat tinggal. Meski kadang hanya di kolong rumah. Tapi itu
sudah hangat. Sangat disyukuri.
Mendengar cerita itu. Kambing tidak mau kalah. Kambing mengaku juga
bersyukur. Atas nikmat Tuhan. Yang diberikan kepadanya. Karena telah lahir dan
hidup sebagai kambing. Dirinya juga bermanfaat. Untuk manusia. Untuk tuannya.
Ketika seorang muslim hendak berkurban. Kambing yang dicari. Bahkan,
kisah Nabi Ibrahim. Ketika hendak berkurban. Atas perintah Tuhan yang maha
kuasa. Nabi Ismail digantingkan kambing. Atas kisah itu. Kambing merasa lebih
bermanfaat dari Anjing.
Sementara si Monyet. Hanya diam. Raut wajahnya yang hitam itu. Berubah
jadi pucat pasi. Monyet merasa tidak berguna. Apalagi untuk manusia. Bahkan,
kadang jadi musuh. Jika merusak lahan pertanian. Tidak sedikit monyet diburu.
Dan ditembak mati.
Di tengah kebingungan itu. Dan penuh tekanan-- Anjing dan Kambing.
Monyet berpikir. Apa gerangan yang dapat membuatnya tidak kalah. Hingga
ditemukanlah ide gila itu. Maka dengan penuh rasa bangga. Juga percaya diri.
Monyet berdiri. Raut wajahnya kini cerah. Meski tetap hitam legam.
Monyet lalu berkata. Saya bersyukur kepada Tuhan yang maha kuasa. Saya
bangga lahir dan hidup sebagai monyet. Bukan sebagai manusia-- tuan Anjing dan
Kambing. Rela hidup dengan kemunafikan-- untuk kekuasaan. Hatinya busuk. Dan
kata-katanya tidak dapat dipercaya.
Seketika itu pula. Anjing dan Kambing terhentak. Kata Imam Mahmud
mengakhiri ceramahnya. Disambut penuh tawa seluruh jamaah. Seingat saya.
Sepanjang ceramah itu. Tidak orang terkantuk-kantuk. Sebaliknya, semua tertawa.
Tertawa kepada diri mereka sendiri.
Selain kerana ceramahnya. Imam Mahmud juga dikenal sangat sopan. Bahkan
kepada orang yang lebih muda. “Iye ndi”. “Iye Puang”. Adalah kalimat yang tidak
lepas dari mulutnya. Nada suranya juga sangat pelan. Saya berani bersaksi atas
itu.
Sekalipun, saya tidak pernah. Mendengar suara keras Imam Mahmud. Suaranya
yang pelan itu adalah ciri khasnya. Ketika mendengar suaranya. Tanpa melihat
wajahnya pun. Saya dapat menebak dengan mudah. Bahwa itu Pak Imam Mahmud.
Barangkali, orang di kampung pun sama.
Dan untuk hari ini. Selama belasan tahun berlalu. Saya tidak pernah
menemui. Imam atau ustad. Atau pemuka agama seperti itu. Entah di kampung. Juga
diperantauan di Makassar ini. Rasa-rasanya sulit menemukan yang sepadan. Atau setidaknya
mendekati.
Jika tentang ilmu. Barangkali banyak yang melebihi Imam Mahmud. Tapi
untuk yang lain. Sangat sulit ditandingi. Utamanya soal pelaksanaan isi
ceramah. Dalam bentuk sikap dan tindakan. Rasanya tidak ada duanya. Hidupnya
sederhana. Berkebun dan beternak ayam.
Tidak seperti para penceramah kondang. Hidup mewah dan bergelimang
harta. Kendaraan Imam Mahmud hanya ada motor buntut tua. Seingat saya itu tidak
pernah diganti. Mungkin itu juga yang dipakai. Ketika hadir di acara pernikahan
saya. Tahun lalu.
Ada satu cerita. Cukup menarik bagi saya. Jika Imam Mahmud minta
diganti. Dari posisinya sebagai Imam Kelurahan. Alasannya, cukup logis. Imam
Mahmud tahu diri. Mau ada regenerasi. Tapi, warga menolak. Warga sangat
mencintainya. Dan itulah beratnya menjadi Imam Mahmud.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar