Kartu Sembako Murah Dicari Rakyat

 


Kemarin ada gosip terpanas. Warga heboh. Juga terkaget-kaget. Bakso langganan naikkan harga. Dulu, seribu sebiji. Ada uang Rp.2.000. Sudah makan bakso; ditusuk. Sekarang tidak lagi. Uang Rp.2.000 tidak berlaku lagi. Setidaknya untuk si Senyum; tinggi, kulit agak legam, gigi putih, murah senyum. Langganan warga.

 

Saya jauh. Sekitar 290 km. Tapi gosip itu terlanjur viral. Jadilah saya terseret juga. Musababnya keluarga di rumah--istri menelfon. Untuk makan bakso, katanya wajib siapkan Rp.5.000. Itu pun hanya dapat tiga biji. Harga krupuk pangsit juga. Tidak ketinggalan, naik.

 

Lalu, usut punya usut. Harga daging di pasar mahal. Seorang keluarga. Kebetulan jual daging di Pasar Terong. Membuat pengakuan. Katanya sulit dapat stok daging. Pusing juga. Karena mau masuk ramadan? Itu belum terjawab. Bisa jadi, iya.

 

Tapi tunggu, saya khawatir. Langganan coto saya di Antang--Coto Deng Muji, tepat di depan Kampus UPRI. Mungkin akan bernasib sama; naikkan harga. Ini andalan soalnya; kuah kental, penuh rempah. Dan tentu, penjual yang ramah. Kadang-kadang dapat bonus kuah.

 

Saya coba hubungi. Melalui chat di WA. Dua jam baru dibalas. Dan, syukurnya. Harga semangkok belum berubah. Masih Rp.10.000. Sangat terjangkau. Tapi, pemiliknya sedang pasang kuda-kuda. Jika harga daging tidak berubah. Terpaksa. Harga dinaikkan juga. Penjual mana yang mau rugi?

 

Rupanya, tidak hanya daging. Gula juga ikut-ikutan hilang. Seperti minyak goreng lalu; langka. Setelah itu, jadi mahal. Ibu-ibu sudah pasti ngoceh. Apalagi bapak-bapak. Jatah gula teh atau kopi pagi dikurangi. Jadi hambar. Seperti hambarnya kinerja pejabat pemerintah.

 

Jika diingat kembali. Di masa kampanye. Sembako murah sepertinya menarik. Waktu itu, Ibu-ibu sumringah. Bukan main. Lagian dijanji pakai kartu; inovasinya keren. Katanya, jika sembako mahal. Pakai kartu itu. Dimana-mana disampaikan. Keliling Indonesia, kartu itu. Bersama pemiliknya.

 

Tapi kini, entah dimana rimbanya. Kartu itu tak kunjung tiba. Mungkin terlalu lelah; keliling Indonesia. Jadi, butuh istirahat. Lima tahun lagi, barangkali. Sekonyong-konyong akan muncul. Apalagi, mau tiga periode. Ya, namanya juga usaha. Apa-apa mesti disiapkan, bukan.

 

Syukurnya, Ibu-ibu sudah lupa; mungkin. Kalau masih ingat. Tentu Ibu-ibu akan menggerutu. Bisa-bisanya dibohongi begitu saja. Maklum bos, perempuan. Seperti kata Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Ngeri.

 

Mungkin juga Ibu-ibu sedang sibuk; makanya lupa. Main Tiktok atau Instagram. Lalu kejar-kejaran followers. Ya namanya juga manusia. Selalu ingin tenar. Lihatlah Bunda Ela. Atau Tante Lala. Keren kan mereka. Hehe.

 

Soal minyak goreng, apalagi. Kita ini Indonesia. Kebun sawit terbesar di dunia. Tapi mingkem, jika diberi data. Misalnya, minyak goreng Malaysia lebih murah. Paling ngeles lagi. “Itu kan Malaysia, bukan Indonesia”. Ya sudahlah, terserah saja. Dasar malas mikir.

 

Eh ngomong-ngomong soal minyak goreng. Bukan kemarin Pak Mendag ada janji. Katanya mau umumkan tersangka-- mafia minyak goreng. Apa sudah ada tersangkanya? Kan Pak Pol bilang belum ada. Lalu, data tersangka itu dari mana? Heran.

 

Lagian ini Pak Mendag ngapain sih. Itu kan ranah Pak Pol. Cari perhatian? Setelah kemarin hapus HET minyak goreng? Ha? Ah sudahlah mundur saja Pak Mendag. Atau ganti saja itu Pak Mendag, Pak Jokowi. Bikin tambah pusing Ibu-ibu. Belum habis masalah minyak goreng. Terbitlah masalah gula.

 

Jika dipikir-pikir. Jadi pejabat enak ya. Kerjaan tidak beres. Tidak pusing. Cukup bikin kegaduhan. Sudah selesai. Warga +62 itu ya, baik-baik. Mudah lupa. Apalagi jika sudah disodorin yang viral-viral. Beehh.

 

Oh iya. Bentar lagi ada pesta. Tahu kan. Pasti meriah. Iya iyalah, pesta Pak Ketua MK dan Adik Pak Jokowi kok. Ayo ke sana nanti.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya