Lebaran Pertama Tanpa Ibu

 


Tiap tahun, di hari lebaran. Semua serasa baru. Tidak hanya pakaian. Ada harapan baru. Kadang juga suasana haru. Untuk yang terakhir. Saya barangkali, dapat dikata begitu. Musababnya, ini tahun pertama tidak lebaran bersama keluarga-- di kampung. Disisi lain juga menyenangkan. Lebaran bersama keluarga baru.


Ceritanya begini-- dua hari sebelum lebaran. Saya memberitahu Ibu saya. Jika tahun tidak pulang kampung. Saya akan lebaran di Makassar. Tempat saya berinteraksi sekitar 14 tahun terakhir. Tempat dimana saya menemukan tambatan hati. Lalu mempersuntingnya-- hampir setahun lalu.


Seperti biasanya. Ibu saya masih merengek. Berharap anak pertama ini hadir disisinya. Itu wajar, saya kira. Apalagi, hampir tiga tahun ini. Saya sangat dekat Beliau. Entah kenapa begitu. Saya juga kadang merasa aneh. Kenapa baru tiga tahun ini. Kenapa tidak sejak lama.


“Saya akan lebaran di Makassar” kata saya melalui telepon. Setelah itu, tidak ada suara. Sunyi lalu ada perasaan getir. Tidak lama. Ibu saya terbata-bata berkata “Tidak apa-apa. Tapi nanti setelah lebaran pulang”. Saya bilang “iye”. Diskusi ringan itu terasa berat. Saya tidak mampu berkata lagi selain “maaf”.


Lalu, tibalah hari kemenangan itu. Sebelum berangkat ke masjid di dekat rumah. Saya menelfon Ibu. Sekedar basa-basi. Juga menanyakan dimana ia akan sholat id. Sekitar lima menit perbincangan itu. Seusai sholat, saya buru-buru pulang. Meraih handphone, lalu menelfon.


Tiga kali saya coba. Tidak ada yang mengangkat-- saya cukup gelisah. Sekitar jam 8 pagi lewat 10 menit. Saya menelfon kembali. Belum juga diangkat. Saya mengira-ngira. Barangkali, handphone tidak dibawa. Dan, ya benar. Sekitar jam 9 pagi. Ibu saya menelfon.


Salam tidak saya jawab. Saya melakukan apa umumnya dilakukan. Seorang anak yang mungkin banyak salah. Saya meminta maaf. Dengan sejumlah alasan dan penjelasan. Ibu tidak menjawab. Lalu suara laki-laki terdengar. Itu adik ke-dua saya. Dia bilang jika Ibu sedang menangis.


Saya tergetar. Batin saya serasa berat. Ada beban yang amat besar. Tapi saya tidak tahu, apa itu. Saya coba tetap tenang. Lalu meminta kepada adik saya. Agar memberi telefon itu kepada Ibu saya. Suara yang tadi samar. Kini terdengar sudah. Nyaring dan pedih.


Berkali-kali saya meminta maaf. Berkali-kali pula tidak ditanggapi. Sekira dua menit seperti itu. Kemudian terdengar suara Ibu saya. Suara nafasnya terasa berat. Saya mendengar itu sangat jelas. Mungkin sedang menahan diri. Atau juga menenangkan diri. Berharap dirinya tidak terlalu kecewa.


Perasaan yang amat berat itu Ibu sampaikan. Jika dirinya seperti sendirian. Suasana rumah tidak lagi ramai. Dulu, katanya. Jika sehabis lebaran. Pasti sangat ramai. Empat anaknya kumpul.


Buat makanan khas lebaran; legese’, ketupat, burasa’, nasu likku. Kue kering juga disiapkan. Sebagai jamuan pertama kepada tamu. Entah keluarga atau tetangga. Atau siapa saja yang singgah di rumah.


Tapi hari itu. Tersisa satu anaknya. Yang masih lajang. Anak ketiga. Seorang laki-laki. Tinggi besar dan kekar. Sangat penyayang. Apalagi kepada Ibu. Saya anak pertama. Tahun lalu menikah. Anak kedua, perempuan. Juga sudah menikah. Telah memiliki tiga anak.


Sedang anak keempat-- bungsu, perempuan. Juga sudah berkeluarga. Sudah memiliki satu anak. Ketiganya berlebaran bersama mertua masing-masing. Sungguh ironi rasanya. Begitu barangkali isi kepala Ibu saya.


Belum lagi omongan tetangga. Memiliki kisah serupa. Tapi dengan realita yang berbeda. Anak-anak tetangga Ibu, pulang kampung. Begitu juga dengan anak keluarga lain. Ini yang membuat hatinya begitu kosong. Hingga mata air murni dari matanya berjatuhan.


Saya tidak dapat berbuat banyak. Hanya bisa menenangkan. Lalu berjanji akan segera pulang. Ini bukan janji kampanye. Setelah diucapkan tidak ada beban. Bahkan ketika tidak ditepati sekalipun. Ini sangat lain. Janji seorang anak kepada Ibunya-- itu sudah sabda.


Dua hari setelah lebaran. Tepatnya di hari selasa jelang siang. Saya berangkat-- pulang. Sebelumhya saya menelfon. Memberi kabar baik ini. Tidak lupa saya jelaskan. Bahwa perjalanan ini tidak langsung ke Sinjai. Tapi singgah dulu di Malino. Silaturahmi kepada keluarga istri-- nginap satu malam.


Rabu pagi. Sekitar jam 10. Saya berangkat ke Sinjai. Lalu lintas agak padat dari biasanya. Barangkali, cerita saya juga terjadi ditubuh manusia lain-- yang sedang berkendara itu. Tidak sedikit banyak terburu-buru. Rindu mungkin telah diubun-ubun. Atau juga bayangan burasa’ telalu menggiurkan.


Saya tiba di rumah sekitar jam 3 sore. Saya turun dari mobil. Begitu juga keluarga istri yang ikut bersilaturahmi. Setelah mempersilahkan masuk. Saya buru-buru ke dapur. Mencari Ibu. Mengambil tangan dan memeluknya. Tidak lupa saya cium pipinya. Hingga Ibu saya mengeluh geli. Saya berhenti dan tertawa. Saya pulang.


#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya