Penghabisan Oposisi


Bergabungnya Prabowo Subianto dan Partai Gerindra pada pemerintahan Joko Widodo memang cukup mengejutkan. Dua sahabat lama kembali semeja bersama dengan hidangan nasi goreng. Itu setelah sekian purnama tak berjumpa. Yakni ketika Pilpres 2009 lalu. Manuver itu pun membuat sejumlah orang kebakaran jenggot.

Tentu yang kebakaran jenggot ini adalah mereka yang memiliki jenggot. Tahun kan siapa. Partai pengusung Joko Widodo pun seperti terbelah ketika itu. Tapi rupanya hanya sebentar. Setelah lakon dipertengkarkan. Tibalah sang dalang minum kopi dibalik layar. Sambil tertawa dan berkelakar. Tentang kebingungan yang terjadi pada arus bawah masyarakat tidak jadi soal.

Partai seperjuangan Gerindra mencak-mencak. Akan berdiri digaris terdepan sebagai oposisi. Tapi kicaunya hanya sebentar. Setelahnya diam seribu bahasa. Waktu terus berputar. Hingga kini tidak ada lagi suara-suara oposisi itu. Kebenaran seperti dimonopoli. Perbedaan dipaksa menjadi menjadi persatuan. Persatuan untuk tidak menentang oligarki. Hahaha.

Kelompok dan individu yang kritis dibungkam. Pasal karet dalam undang undang ITE siap menanti. Ketika rakyat teriak kelaparan hingga mati karena itu. Strategi viralisme dipakai membungkam. Para buzzeRp bekerja. Jadinya konteks teriakan rakyat hilang. Tenggelam dalam tumpukan sampah di depan istana. Bau busuk menyengat. Tapi Disemprot dengan parfum DKNY Golden Delicious Million Dollar Fragrance Bottle hingga hanya harumnya saja yang tercium.

Ketiadaan oposisi hari ini membuat kebenaran hanya satu arah. Tidak ada kebenaran, data dan suara alternatif. Ada memang yang berbunyi. Tapi tidak nyaring dan garang. DPR yang harusnya menempati kata oposisi juga seperti di laur kendali. Sebab itu-itu juga. Yang melaksanakan dan yang mengawas sama saja. Hanya rupa yang beda. Isi kepala sama tetap satu arah. Tuh ada Gubernur malah perintah Ketua DPRD.

Seperti sekarang, dimana semua serba sulit karena Covid-19. Kondisi ekonomi yang ditarget meluncur seperti roket tak terdengar lagi, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dikeluarkan Pak Presiden melonggarkan praktek korupsi, kenaikan tarif listrik, hingga tidak diturunkannya Bahan Bakar Minyak (BBM) padahal harga minyak anjlok. Hampir semua diam. Mungkin ada yang bersuara tapi tidak terdengar.

Lebih terdengar perdebatan antara mudik dan pulang kampung ala Presiden Joko Widodo. Itu kemudian menyerap energi. Lalu jadinya, konteks yang diharap kembali hilang. Sebuah tulisan dari mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan tentang kenaikan BBM juga sama. Tenggelam. Apalagi kunjungan Presiden sebuah lorong. Hingga dinilai mirip dengan Umar Bin Khattab. Sayang sih Pak Presiden sudah jarang jadi imam sekarang. Hehehe

DPR sebagai penyambung lidah rakyat bungkam. Itulah jadinya kalau tidak bisa dibedakan mana legislatif dan eksekutif. Toh sekarang ada DPRD kelola anggaran. Hahaha. Jadi ketika harga BBM dinaikan dengan alasan harga minyak dunia melambung dimaklumi walau rakyat menjerit. DPR kemana? Tapi ketika turun, yah pura-pura lupa. Oh iya, Pak BTP yang duduk sebagai Komisaris Utama Pertamina juga bungkam. Tidak garang seperti dulu. Entah kenapa. Mungkin lagi sariawan. Hahaha

Dua hari lalu, saya ditelfon Bapak. Katanya tagihan listrik melambung berkalilipat. Sungguh informasi yang sangat tidak enak didengar. Belum lagi, seorang teman mengatakan hal yang sama. Anehnya lagi katanya, rumah yang ada aliran listriknya sudah tidak ditempati. Tapi pembayaran dua kali lipat ketika masih ditinggali. Juga seorang yang lain mengaku dimedia sosial minta dicabut listriknya karena tidak sanggup bayar.

Mau bagaimana pun sepertinya rakyat tetap kalah yah. Gedung kura-kura sudah tidak kondusif juga. Buktinya, kemarin para Puan dan Tuan di DPR dikritik oleh seorang jurnalis. Tapi malah balik membela diri. Bahkan mengancam menyerang balik. Ini ada apa sih. Kok yang seharusnya selalu mengkritik seperti anti kritik. Itu juga sebagai uupaya kritikan lebih nyaring. Tapi malah ngeyel. Ah sudahlah. Bangc*d memang.

Tapi dari sejumlah masalah krusial inilah membuat saya rindu dengan Si Banteng. Jujur saja rindu, malah lebih berat dari rindunya Dilan ini. Masih ingat betul saya ketika BBM akan dinaikkan oleh Presiden SBY. Si Banteng itu langsung teriak. Sangat mewakili hati dan nurani rakyat pokoknya. Si Banteng ketika itu memang tahan mental sih. Konsisten dengan jalur perjuangan. Angkat tangan kirimu shaggy. Begitulah kira-kira Si Banteng waktu itu. Beda dengan sekarang. Santuy malah sangat santuy kupikir.

Si Banteng juga motor serangan suara parlemen jalanan ketika itu. Bahkan tak segan Sang Ibu Banten ikut turun. Berteriak atas nama rakyat. Bahkan juga menangis. Tapi kini Si Banteng terpenjara. Terpenjara oleh kata-katanya sendiri. Terpenjara dalam kalimat "Petugas Partai". Apalagi Sang Ibu hari ini menjadi garang tak karuan. Pernah dulu ada berita ongkang-ongkang kaki, eh malah datang menyeruduk. Mungkin sudah lupa diri kalau dulu pernah jadi oposisi sejati.

Sekarang mah yang penting enaknya saja. Tidak perlu lagi ributkan Harun Masiku. Lupakan saja Jiwasraya dan Asabri. Cuekin saja KPK yang tidak pernah merilis korupsi baru. Keluarin saja napi biar bisa ditangkap lagi. Kalau ada uang baru abang disayang. Yah dengan godaan nasi goreng misalkan. Atau ngeri-ngeri dengan yang selalu mengatakan netral. Partai kok netral. Eh kok keceplosan sih. Tapi itu adalah lelucon paling kocak sih. Hahaha

#akumencintaimu

Catatan : Tulisan saya posting di facebook 7 Mei 2020 dengan judul Rindu Banteng, Si Opisisi Sejati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya