Negara dan Tafsir Hukum
Tiga tahun yang lalu. Seorang teman-- perempuan, pernah bercerita. Dirinya dijambret. Di pinggir jalan. Di pintu masuk Kampus UNM-- Jl. AP Pettarani. Handphone jenis Iphone di rampas. Dia tidak bisa berbuat banyak. Di lehernya parang terhunus.
Jika melawan atau berteriak. Hampir dipastikan akan terluka. Itu jika
nyawa tidak melayang. Lagian saat itu sedang sepi. Dia sedang menunggu
pete-pete-- angkot. Mau pulang ke rumah. Di sekitar Daya. Untungnya, hanya
handphone yang diambil. Di dalam tasnya, ada laptop.
Sang penjabret beraksi cepat. Barangkali juga takut. Jika ketangkap
akan dimassa. Nyawa taruhan. Sungguh sulit menahan orang marah. Apalagi kepada
orang seperti mereka. Maka teman ini hanya terdiam. Cukup lama, ia berdiri.
Sambil menangis. Hingga datang satpam.
Sejak saat itu. Teman ini parno. Takut sendirian dijalanan. Merepotkan
banyak orang. Termasuk orang tuanya. Akan merasa lebih nyaman. Dan terlindungi
jika berada di dekat Bapaknya. Jika mau pergi. Minta diantar. Jika mau pulang.
Minta dijemput. Semua serba repot. Terbawa hingga sekarang.
Masih soal kejahatan jalanan. Datang dari Lombok. Seorang laki-laki
bernama Amaq Sinta. Dia dibegal. Oleh empat orang sekaligus. Cerita itu
bermula. Ketika dirinya hendak mengantar makanan. Kepada Ibunya. Di tengah
perjalanan. Amaq dihadang.
Duel maut tidak terhindarkan. Amaq sempat meminta tolong. Tapi disitu
sepi. Tidak ada orang datang. Maka keberanian dihadirkan kedirinya-- sendiri.
Lagian tidak ada jalan lain. Duel pun terjadi. Dua dari empat tersungkur.
Mengeluarkan darah.
Amaq juga terluka. Untungnya tidak parah. Masih bisa berkendara. Dua
pembegal lain kabur. Melihat kawan kejahatannya tidak berdiri. Amaq lalu pergi
ke rumah keluarga. Untuk menenangkan diri. Lagian, peristiwa barusan.
Barangkali tidak pernah terbayangkan. Bahkan seumur hidupnya.
Karena ada dua korban meninggal. Penyelidikan dilakukan. Dan Amaq
tertuduh sebagai pelaku pembunuhan. Awalnya jadi saksi. Tapi kemudian jadi
tersangka. Lalu di tahan. Kasus ini pun meledak. Banyak warga yang protes. Amaq
akhirnya diberikan penangguhan penahanan.
Di tempat lain. Di KM 50-- Tol Jakarta-Cikampek. Enam orang tewas.
Diduga terjadi pembunuhan. Pelakunya adalah anggota kepolisian. Tapi kemudian
divonis bebas. Oleh pengadilan dengan dalih terpaksa. Kedua penembak itu
terpaksa menembak untuk membela diri.
Sementara sejumlah orang menilai. Jika peristiwa KM 50 adalah
extrajudicial killing-- pembunuhan di luar putusan hukum. Itu seperti penilaian
Amnesti Internasional Indonesia. Menurut lembaga internasional itu. Polisi
tidak berhak menjadi hakim. Untuk mengambil nyawa seseorang.
Penjambretan teman. Penetapan tersangka Amaq. Hingga peristiwa KM 50.
Maupun kasus lain yang serupa. Negara seperti tidak hadir sepenuhnya-- memberikan
perlindungan. Juga memberikan keadilan. Dengan pertimbangan sejumlah fakta.
Bahwa penyelesaian prosedural hukum. Pada kasus ini seperti setengah matang.
Untuk kasus teman saya misalnya. Faktor psikologi dari peristiwa itu.
Seperti tidak menjadi penting. Padahal secara dampak sangat kuat. Dan itu dapat
berakibat sindrom. Jika tidak ditangani baik. Maka akan berdampak buruk.
Seperti kecemasan. Hingga ketakutan berlebihan. Itu terbukti.
Belum lagi, misalnya. Ketika kasus itu dilaporkan. Tapi kemudian
prosesnya tidak jalan. Lalu akhirnya hanya menjadi catatan akhir. Yang
dilaporkan setiap tahun. Bukankah sangat jarang rasanya kasus demikian
diungkap. Hingga kasus itu selesai.
Saya pernah alami. Motor dicuri. Sudah lupa tahun kejadiannya. Saya laporkan.
Tidak ada perkembangan. Hingga kini. Itu motor mega z burung hantu. Barangkali
nilainya 12 jutaan. Gimana kalau handphone. Yang nilainya mungkin hanya 7
jutaan.
Untuk kasus Amaq. Seperti sudah menjadi rahasia umum. Jika tanpa
tekanan publik. Barangkali kasus Amaq akan berakhir di rumah tahanan. Lagian
sangat aneh rasanya. Jika membela diri. Lalu dinilai bersalah. Pernyataan
polisi dalam press conference juga patut disayangkan.
Jika mau jujur. Saya pribadi itu mengecewakan. Seakan-akan salah jika
membela diri. Sedang posisi Amaq sedang terdesak. Atau ketika berada diposisi
Amaq. Kita diminta untuk pasrah saja. Sungguh aneh. Dan ketika semua terjadi.
Motor diambil-- siapa tanggungjawab?
Syukur-syukur jika kasus diungkap-- motor ditemukan. Jika tidak? Maka
korban harus sabar. Iya? Sungguh betapa banyak rasanya. Kasus seperti itu
berakhir kecewa. Bukan berarti kita tidak percaya kepada kepolisian. Tapi, jika
berbicara fakta. Banyak yang demikian. Ini juga pengalaman sendiri.
Sedangkan kasus KM 50. Kita hargai putusan pengadilan. Membebaskan dua
terdakwa dari segala tuntutan. Alasan tadi, dalam keadaan terdesak. Tapi disisi
lain, dengan posisi yang sama. Kepolisian seperti tidak menjadikan itu
referensi hukum. Terutama kepada kasus Amaq. Kenapa?
Kan sudah disampaikan dalam keadaan terpaksa-- membela diri. Pilihan
hanya dibunuh atau membunuh. Dan kebetulan Amaq membunuh. Lalu dengan narasi,
kalau malam harus jalan berdua. Itu rasa-rasanya sulit diterima akal.
Semestinya, kasus yang semacam ini dikaji lebih dalam.
Kalau sudah begini. Nasi sudah jadi bubur. Lagi dan lagi-- citra
institusi kembali tercoreng. Kan kasihan. Saya yakin dan percaya. Banyak polisi
professional. Menjalankan tugas sesuai konstitusi. Amanah dan mengayomi
masyarakat.
Di Sinjai, misalnya. Saya tahu seorang polisi. Diberi penghargaan. Atas
prestasinya mendukung literasi desa. Dan masih banyak lagi. Karena itu, kita
tentu mendukung proses hukum dilakukan secara cermat. Dan hati-hati. Terutama
dalam menafsirkan hukum itu sendiri.
Sudah saatnya kepolisian berbenah. Apalagi, tagar percuma lapor polisi
pernah menggema. Karena itu berarti ada sesuatu yang lain disitu. Salah satunya
mungkin ketidakpercayaan. Dan celakalah, kita semua. Jika sebuah institusi
hukum tidak dipercaya.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar