Si Anak Kampung Kini Berpulang

Hari ini, kita berduka. Seorang guru bangsa telah berpulang-- Ahmad Syaafii Maarif. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu berpulang usai dirawat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Innalillahi wainnailaihi rojiun.


Saya bersentuhan dengan pikiran Buya-- sapaan akrab Ahmad Syaafii Maarif ketika membaca sebuah novel. Ditulis dengan cukup apik oleh Damiem Dematra. Judulnya Si Anak Kampung-- ini saya dapati dipenjual buku murah beberapa tahun silam. Berkisah tentang masa kecil Buya. Judul itu sebenarnya sebutan yang sangat disukai Buya.

 

Musababnya karena tahu diri-- lahir di sebuah kampung di Desa Calau. Sebuah perkampungan yang sangat terpencil di Minangkabau, Sumatera Barat. Listrik baru masuk di wilayah ini tahun 2005. Buya lahir dari seorang bapak yang terpandang. Seorang kepala nagari.

 

Ibunya seorang dengan pengetahuan yang terbuka. Mendidik Buya kecil dengan sangat baik. Sayang, Ibu Buya berpulang cepat ketika usianya sekitar 2 tahun. Mau tidak mau Buya dirawat oleh tantenya. Hingga Buya mengenyam pendidikan. Dari sekolah rakyat. Lalu berpindah ke Madrasah Ibtidayah Muhammadiyah.

 

Belum apa-apa, Buya harus menghadapi kenyataan pahit. Karena perang revolusi, Buya harus memendam keinginannya untuk bersekolah. Karena alasan itu, Buya tidak sampai selesai. Pun ketika perang mulai reda, Buya melanjutkan kembali tapi ijazahnya tidak dapat dicetak.

 

Setelah bersekolah Muhammadiyah di kampungnya selesai. Buya lalu meminta izin kepada bapaknya. Buya berkeinginan kuat untuk sekolah ke tanah Jawa. Tepatnya di sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Karena tekatnya yang kuat, Buya pun diizinkan berpindah ke Yogya. Meski bapaknya harus memendam rasa khawatir yang kuat.

 

Di Yogya, perjalanan Buya tidak semulus yang dikira. Buya harus menelan pil pahit kenyataan yang ada didepannya. Sekolah Muhammadiyah yang diidamkan tidak dapat menerimanya. Hanya karena murid sudah penuh. Maka dimintalah Buya untuk menunggu setahun lamanya.

 

Karena waktu yang cukup lama itu. Buya lalu memilih masuk sekolah montir. Itu dilaluinya dengan begitu ikhlas dan sabar. Lalu kabar duka tiba-tiba datang. Sang Pengagum utama dihidupnya telah berpulang. Buya hanya berpasrah. Dirinya tidak cukup banyak uang untuk pulang kampung.

 

Keteguhan dan ketekunannya berbuah hasil. Kecerdasannya terus menuai banyak pujian. Buya lalu diberikan tanggungjawab untuk menjadi guru di Lombok. Setelah amanah ditunaikan. Buya lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Cokroamianoto Surakarta.

 

Untuk membiayai kuliahnya. Buya menekuni banyak pekerjaan. Dari pelayan toko, guru ngaji, hingga guru honorer pernah dilaluinya. Buya juga terlibat aktif dalam dunia pers. Pernah menjadi redaktur Suara Muhammadiyah. Juga pernah menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

 


Pendidikannya lalu berlanjut jauh-- melebihi ekspektasi bapaknya. Ke Amerika Serikat. Masing-masing S2 di Universitas Ohio dan S3 di Universitas Chicago. Dari sinilah, Buya kemudian berkutat diskusi dengan sejumlah tokoh lain. Diantaranya adalah Amin Rais dan Nurcholis Madjid.


Tahun 1998, Buya kemudian didaulat sebagai Ketua PP Muhammadiyah menggantikan Amien Rais. Jabatan itu diemban hingga tahun 2005-- tahun dimana pertama kali kampung mendapat pasokan listrik dari pemerintah.

 

Selama kurang lebih tujuh tahun kepemimpinannya di Muhammadiyah. Buya melahirkan banyak karya yang menanamkan pemikiran pluralisme, kebangsaan dan keislaman. Jasa-jasanya itu kemudian mendapat atensi dari Pemerintah Filipina. Buya mendapat penghargaan Ramon Magsaysay. Kemudian mendirikan Maarif Intitute.

 

Tahun 2017, foto Buya viral di media sosial. Buya tampak duduk di sebuah stasiun kereta. Membaur bersama masyarakat yang juga sedang menunggu kereta. Tujuannya ketika itu adalah Bogor. Di sana, Buya direncanakan akan bertemu Presiden Jokowi. Untuk tujuan peluncuran program penguatan pendidikan Pancasila.

 

Dalam sebuah wawacara di media. Buya menjawab santai pertanyaan pewarta. Termasuk menanggapi fotonya yang viral. Dengan santai Buya menjelaskan jikalau dirinya adalah anak kampung. Terbiasa jalan kaki atau mengayuh sepeda berkilo-kilometer.

 

Dilain kesempatan, foto Buya lagi kembali viral. Tampak, seorang lelaki tua memakai batik sedang mengayuh sepeda. Diperkirakan jalanan sepi itu di Yogyakarta. Pada setir sepeda sebelah kanan. Ada sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya buku. Sungguh manusia yang bersahaja-- pernah menolak jabatan komisaris perusahaan berplat merah.

 

Suatu hari, seorang tetangga Buya. Sama sekali tidak dikenalnya. Sedang kesulitan karena usahanya bangkrut. Datang bertamu dan berniat meminta pinjaman. Lalu dengan entengnya Buya meminjamkannya. Kisah itu ditulis sendiri oleh sang peminjam, Sanjaya Kus Indarto.

 

Belum lagi ketika Buya memilih melawan arus-- membela Ahok. Yang notabene tidak ada kaitan dengan dirinya sama sekali. Apa yang didapatnya? Tidak ada kecuali caci maki dan umpatan. Bahkan, datang juga dari organisasi tempatnya lahir dan Buya besarkan.

 

Di dalam kampus juga sama. Buya tetaplah Buya. Jika seorang akademisi telah menyandang jabatan akademik professor. Barangkali tidak akan gengsi untuk mengajar S1. Buya sebaliknya. Ia bahkan dengan senang hati mengajar mahasiswa-- dengan tekun dan terukur.

 

Masih banyak kisah lain tentang Buya. Barangkali, jari-jari saya akan lumpuh jika menuliskan seluruhnya. Yang pasti, Buya telah mewariskan harta yang tidak dapat dinilai dengan apapun juga-- kepanutan akan kesederhanaan. Buya-lah sejatinya manusia dalam pepatah padi itu “semakin berisi semakin menunduk”.

 

Selamat Jalan Buya.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya