Toraja Surganya Pluralisme (Bagian 2)
Pekan pertama pada September 2021. Saya semakin lancar berkomunikasi dengan Ibu Dekan-- Anastasia Baan. Tidak seperti diawal-- ada perasaan canggung-- intensitasnya cukup tinggi. Barangkali sudah berinteraksi lama. Maka saya mulai merasa nyaman. Termasuk berkomunikasi tentang kampus dan berbagai hal lain.
Di pekan pertama itu juga-- kalau tidak salah ingat. Ibu Anastasia
memberikan informasi jika perkuliahan akan segera dilaksanakan. Perkiraan Ibu
Anastasia ketika itu, akan dimulai pada pekan ketiga atau keempat September.
Karenanya saya lalu diminta berkomunikasi dengan Kaprodi, Pak Ketut Linggih--
saya iyakan.
Anda tidak salah baca-- Ketut Linggih. Orang asli Bali. Tapi sudah
puluhan tahun di Toraja. Kehadiran Pak Ketut membuat saya semakin yakin akan
Toraja-- keterbukaan dan pluralismenya. Barangkali di lain waktu saya akan
wawancara khusus dengan Pak Ketut. Kenapa dan bagaimana Blio sampai ke Toraja.
Kembali ke topik. Diwaktu yang bersamaan. Masa-masa itu juga saya
disibukkan dengan acara pernikahan. Tanggal 19 September acara di rumah istri.
Lalu ditanggal 26 acara akan dilangsungkan di rumah-- di Kabupaten Sinjai. Saya
dihubungi kembali Ibu Anastasia. Disampaikan jika tanggal 27 akan ada
perkenalan bersama dosen Prodi Teknologi Pendidikan dan mahasiswa.
Karena waktu yang sangat mepet. Saya menyampaikan jika saya tidak bisa
mengikuti kegiatan yang dimaksud. Ibu Anastasia lalu mengarahkan untuk
komunikasi kepada Pak Ketut. Hari itu juga, saya langsung menelfonnya. Saya
jelaskan kepada Pak Ketut. Jika saya tidak bisa ikut hari pertama. Blio pun
mahfum.
Syukurnya, setelah semua rangkaian pesta selesai. Barulah kuliah
perdana dimulai. Saya ketika itu belum juga berangkat ke Toraja. Saya masih
mengajar online. Karena itu, pertemuan pertama-- perkenalan dan kontrak kuliah,
saya dengan mahasiswa melalui daring.
Tengah Oktober, saya baru berangkat ke Toraja. Ikut serta ketika itu
istri saya. Saya bertemu Pak Rendy-- admin Prodi Teknologi Pendidikan yang
murah senyum itu. Dan beberapa dosen lain. Tidak terkecuali mahasiswa yang saya
ajar. Dari sinilah pembuktian saya tentang Toraja surganya toleransi dan
pluralismenya-- kian nyata.
Di kelas B1 saya bertemu dengan salah satu mahasiswi-- berkerudung
selayaknya muslim-- sedang duduk manis di barisan bangku paling depan, di
sebelah kiri. Namanya Putri. Sebelumnya saya sudah tahu ketika belajar secara
daring. Tapi kini Putri saya lihat secara langsung. Berpakaian muslim lengkap.
Sebelumnya, dipikiran saya-- UKI itu kan singkatan Universitas Kristen
Indonesia. Saya ulangi “Kristen”. Tapi kok bisa menerima mahasiswa muslim.
Kampus ini keren. Saya harus angkat topi. Tidak hanya Putri rupanya. Di kelas
lain yang tidak saya ajar-- juga ada mahasiswa muslim. Di prodi lain pun
begitu.
Oh Tuhan, betapa nikmat rasa yang kau berikan. Terutama kepada Kampus
UKI Toraja, pihak Yayasan serta seluruh warga Toraya. Mereka begitu menikmati
Bhinneka Tunggal Ika. Sungguh ini adalah harga yang tidak dapat dinilai dengan
apapun-- hidup berdampingan, saling menghargai kepercayaan, rukun, aman dan
nyaman.
Komentar
Posting Komentar