Underdog Effect dan Generalisasi Konten Deddy Corbuzier



Baru-baru ini podcast Deddy Corbuzier heboh. Mengundang pasangan gay. Judul podcast itu juga mengundang reaksi-- tutorial jadi g4y di Indo. Sangat provokatif bukan. Tapi tunggu, apa mengundang Ragil dan pasangan gay-nya dari Jerman itu murni sebuah kesalahan? Ini pertanyaan menarik.

 

Semua tahu dunia maya Indonesia sangat barbar. Ini bukan asumsi. Tapi berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Microsoft tahun 2020. Bahkan riset itu menempatkan Indonesia berada ditingkat terbawah se-Asia Tenggara. Keren kan? Wkwkwk

 

Mari kita coba urai ini ke kasus Podcast Deddy. Semua orang tahu gimana kapasitas intelektual Deddy. Tidak main-main. Bacaan-bacaannya updating. Maka tidak jarang kalimat-kalimat Deddy dikutip banyak orang. Termasuk kalimat yang begitu melekat dengan Deddy-- smart people don't make stupid people famous.

 

Ketika podcast itu keluar-- meledak. Netizen-netizen Indo menghujat. Bahkan tidak sedikit menjurus ke ranah pribadi. Nama Deddy trending hampir seminggu dijagat twitter. Bahkan, sampai MUI dan pejabat pemerintah pun ikut berkomentar. Juga tidak ketinggalan sejumlah ulama.

 

Ledakan itu hal yang wajar. Toh sudah disebutkan diawal. Jika dunia maya Indo sangat barbar. Dan apa ada efeknya ke Deddy? Tentu ada. Dia minta maaf dan hapus video itu. Tambah seru ini. Pertanyaan kedua yang menarik adalah apakah efeknya sudah berhenti disitu?

 

Secara psikologi, ketika ada sebuah pertandingan. Kita ingin yang menang itu adalah pihak yang dinilai lemah. Misal kasus anak Deddy-- Azka, melawan Vicky Prasetyo. Pasti ada yang berharap. Atau ada harapan secara umum--generalisasi, bahwa pertandingan itu mampu dimenangkan oleh Vicky.

 

Kita ambil contoh yang lebih umum. Masih ingat Leicester pada musim 2015/2016. Ketika itu, para pemainnya tidak ada yang berlabel bintang. Market value seluruh pemainnya hanya sekitar 75 pounds. Sedang Manchester City ketika itu, market value pemainnya sekitar 400 pounds. Ajaibnya musim itu Leicester juara.

 

Apa yang membuat munculnya harapan agar Vicky menang melawan Azka. Dan Leicester menjadi kampiun Liga Inggris? Itu karena underdog effect. Umumnya teori ini banyak dipakai secara praktis dalam kegiatan politik. Tapi, secara fakta juga dapat terjadi pada bidang yang lain.


Termasuk untuk kasus Deddy-- diuntungkan karena terus diperbincangkan. Lalu viral. Bukankah tujuan dari sebuah konten itu adalah diperbincangkan. Juga banyak ditonton. Jika sudah seperti itu. Cuan sudah tentu mengalir.  

 

Kita jawab pertanyaan pertama. Apakah mengundang Ragil sebuah kesalahan?

 

Dengan kapasitas intelektual Deddy. Dan pengetahuan Deddy mengenai psikologi netizen yang barbar. Itu ada benang merahnya. Ini belum pasti. Kita hanya menduga saja-- hanya Deddy dan Tuhan yang tahu. Kita coba hubungkan itu-- melawan arus netizen. Jika ikut arus-- marah dan menghujat. Barangkali tulisan tidak pernah ada.

 

Kita coba beri bukti. Netizen menghujat Deddy dengan mengembalikan kalimatnya “smart people don't make stupid people famous”. Untuk kasus ini, secara head to head. Tidak dapat dikatakan bertolak belakang. Atau bertentangan.

 

Ragil itu sudah terkenal. Sebelum Deddy panggil Dia ke podcastnya. Lihatlah akun-akun media sosial Ragil. Di IG pengikut Ragil mencapai 181 ribu. Akun tiktoknya bahkan mencapai 3,6 juta-- pernah ditakedown tapi kini sudah kembali.

 

Jadi ketika menyerang Deddy dengan smart people don't make stupid people famous. Itu sangatlah tidak tepat. Bagi saya itu hanya datang dari perasaan marah-- dalam kondisi marah logika akan tumpul. Sebab ego yang mengambil alih seluruh tubuh dan pikiran.

 

Kita jawab pertanyaan kedua. Apakah efeknya sudah berhenti disitu?

 

Karena marah dan dihujat. Deddy trending hampir sepekan di twitter. Dan itu baik untuk Deddy. Podcastnya terus diperbincangkan. Dan membuatnya orang semakin penasaran. Lalu ketika pada tahap itu. Orang-orang yang jarang menonton podcast Deddy. Akan kembali mencari dan menontonya-- cuan lagi.

 

Untuk menawar kemarahan dan hujatan itu. Dengan cerdiknya Deddy meminta maaf. Lalu menghapus video itu. Deddy mungkin tahu betul psikologi netizen. Mudah marah tapi juga mudah lupa. Apalagi jika ada muncul kasus-kasus baru dan viral. Itu akan mempercepat proses lupa itu.

 

Lagian umumnya di negeri ini kan memang begitu. Jika sudah melakukan kesalahan. Cukup membuat video dan minta maaf. Selain Deddy, hal sama juga dilakukan oleh seorang bapak-bapak yang marah dan hujat polisi karena terjebak macet beberapa waktu lalu. Setelah itu-- hilang. Wkwkwkwk

 

Hal lain yang mungkin membuat podcast Deddy sulit dibendung. Karena tema yang dibahasnya beragam-- general. Tidak kaku pada konten-konten yang viral. Bahkan, kadang-kadang mengundang narsum yang tidak pernah terpikirkan orang. Misal pemain game. Atau menjadi promotor pertandingan catur-- cetak rekor.

 

Bandingkan misalnya dengan akun Dunia Manji. Yang fokus membahas tentang musik-- spesialis. Penontonya tetap ada. Tapi sulit untuk masuk trending. Atau penonton hingga belasan juta. Mungkin bisa trending dan penonton banyak tapi harus menunggu momentum. Seperti kasus Zidan dan Tri Suaka, misalnya. Sedang Deddy membuat momentum. Jelas kan bedanya.

 

Ada sebuah buku yang menarik dan mengurai itu. Judulnya Range yang ditulis oleh David Epstein. Buku ini sangat menarik karena mengurai general dan spesial. Dua hal yang begitu bertolak belakang.

 

Menurut Epstein, menjadi spesial itu baik. Tapi tidak cukup baik untuk kondisi sekarang ini. Karena kecepatan informasi. Bayangkan dulu, jika ingin menulis buku dan mendistribusikannya. Sangat-sangatlah sulit. Sedangkan hari ini, dengan perkembangan teknologi. Begitu sangat cepat.

 

Oleh karena itu, untuk menjadi kuat. Maka harus memilih mandat spesial. Entah spesial dibidang matematika, seni, sejarah dan lain-lain. Barangkali dulu memang ada ahli dibanyak bidang. Tapi itu tidak seberapa. Sedangkan sekarang, sedang gencar theory of everything. Dan itu mengarah kepada generalisasi.

 

Itulah yang kemudian diresahkan oleh Epstein. Sebab menurutnya, spesialis itu sangat sulit menerka secara menyeluruh. Sedangkan berpikiran generalisasi sebaliknya. Mampu mengabstraksikan sesuatu begitu kuat. Sehingga cepat melakukan mitigasi.

 

Karena itu, ketika kasus Deddy dihujat. Dia baik-baik saja. Deddy sudah memprediksi itu. Termasuk isi konten yang selama ini dipilihnya-- general. Sifat general menguntungkan. Jauh sebelum Ragil diundang. Oleh karena, efek ke podcast Dedy tidak seberapa. Malah efek positifnya yang lebih banyak. 


Lihatlah, Deddy santai saja bukan. Malah mengundang Gus Miftah-- gurunya. Yang juga kena semprot netizen. Jadi, apakah kalimat smart people don't make stupid people famous itu patut dihujatkan kepada Deddy atau sebaliknya untuk para netizen yang tahunya marah-marah dan menghujat saja? Wkwkwk

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya