Warga Rampi Wajar Kecewa Pak Gub


Kemarin sore, di sebuah grup WA. Seorang kenalan mengirim potongan video. Di situ diperlihatkan Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, di atas podium-- barangkali sedang memberi sambutan. Mengenakan pakaian serba hijau. Di kepalanya, ada songkok recca-- songkok khas Bone.

 

Dengan senyum khasnya. Dan gesturnya yang seperti biasa kita lihat. Nadanya agak sedikit ditekan dan bercanda. Itu terlihat ketika Pak Gub menahan tawa. “Sama yang ke Rampi, saya sampaikan tadi di Luwu Utara, katanya Anda mau ke luar dari Sulsel ini. Kenapa nda keluar dari Indonesia gitu kan”. Tolong dikoreksi jika salah.

 

Dalam beberapa berita yang saya baca. Konteks kalimat Pak Gub adalah bercanda. Hal itu disampaikan oleh Kabid Humas, Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Sulsel, Sultan Rakib. Penjelasan lebih lanjut, jalan ke Rampi itu bukan kewenangan provinsi. Tapi kabupaten-- Pak Gub tetap akan bantu dengan pinjaman; itu baik.

 

Bercanda untuk tujuan hiburan. Kadang-kadang sulit dilakukan. Jika orang tidak tertawa. Berarti itu sebuah tanda kegagalan. Belum lagi jika tafsirnya disalah artikan. Kadang-kadang menjadi berbahaya-- bisa berbuntut penghinaan juga laporan. Undang-undang ITE itu mengerikan.

 

Seperti baru-baru ini di panggung Piala Oscar 2022. Chris Rock yang ditunjuk sebagai pembawa acara-- seorang komika terkenal Amerika. Menyampaikan kalimat humor untuk tujuan hiburan.

 

Topiknya tentang Jada Pinkett-- kebetulan mengalami kebotakan karena penyakit yang dideritanya. Istri Will Smith-- aktor kawakan Hollywood. Yang terjadi kemudian-- Will naik ke panggung. Lalu menampar Chris. Chris terdiam sejenak. Lalu berkata “Wow”.

 

Begitu sulitnya humor itu. Pemilihan kalimat harus tepat. Pertimbangan penerimaan generalisasinya harus kuat. Sebab humor yang disampaikan secara terbuka. Wajib membengkokkan logika semua orang. Agar semua ikut tertawa. Tidak heran, jika orang dengan selera humor yang bagus. Bisa dikata adalah orang cerdas.

 

Jika humor bertujuan untuk mengkritik. Indonesia punya tokoh yang sangat bagus. Mantan Presiden RI-- KH Abdurrahman Wahid. Atau biasa disapa Gus Dur. Tokoh NU itu pernah berkata jika humor sangat efektif untuk perlawanan. Namun Gus Dur juga memberi catatan. Jika humor yang baik adalah menertawakan diri sendiri.

 

Karena itu, jika Pak Gub ingin menampilkan humor dalam pidatonya. Untuk tujuan menghibur. Atau membalas kritikan. Atau menarik perhatian audiens. Barangkali wajib mempertimbangkan catatan Gus Dur. Juga dapat belajar dari peristiwa Chris Rock dan Will Smith di ajang Piala Oscar itu.

 

Sebab rasa-rasanya, diksi dan kalimat Pak Gub itu tidak tepat. Jika ada warga Rampi menyampaikan mau ke luar dari Sulsel. Dan pindah ke Sulteng-- ini bukan luar negeri-- masih di Indonesia. Itu ada pemicunya-- tidak ada asap kalau tidak ada api. Salah satu yang mungkin menjadi alasannya adalah akses jalan.

 


Kita semua tahu. Bagaimana kondisi jalan ke Rampi-- rusak parah. Masih sangat panjang jalan dengan kontur tanah. Sehingga sulit dilewati kendaraan. Untuk akses ke Masamba perlu waktu yang tidak sedikit. Juga mesti dengan keberanian berlebih. Selain jalan yang rusak. Juga dibanyak titik hutan masih belantara.

 

Belum lagi jarak yang sangat jauh. Sekitar 86 km ke Masamba. Jika dibandingkan akses jalan ke Poso. Itu bisa lebih pendek. Hanya sekitar 36 km. Itu berarti setengahnya saja. Untuk berbelanja kebutuhan pokok dan lain-lain. Dengan perbandingan jarak. Warga Rampi tentu akan lebih condong ke Poso.

 

Karena itu cukup logis bagi warga Rampi. Minta pindah kependudukan secara administrasi dan wilayah-- dari Sulsel ke Sulteng. Lagian pilihan itu tidak bertentangan secara hukum. Malah jika warga Rampi ingin pindah ke luar negeri itu baru melanggar hukum. Karena itu, bisa jadi makar namanya Pak Gub.

 

Belum lagi jika musim Pilkada. Atau musim Pileg. Ini bisa dicek ke lapangan-- tanya ke warga. Mungkin saja ada calon kepala daerah-- terpilih. Atau calon legislatif-- terpilih. Pernah menjanjikan akses jalan dari Masamba ke Rampi. Sebab janji manis seperti itu sangat mujarab-- untuk mendulang suara.

 

Karena kepala daerah yang dipilih terpilih. Dan atau anggota DPR RI atau DPRD yang dipilih terpilih. Itu berulang dan terus berulang. Warga kemudian menagih janji. Tapi janji tinggal janji-- tidak ditepati. Menumpuk di kepala warga Rampi. Lalu berkeinginan untuk pindah-- dengan pertimbangan logis-- itu sangat wajar.

 

Ditambah lagi soal fasilitas kesehatan dan pendidikan-- wajib dipenuhi pemerintah. Jika yang disediakan di Rampi tidak memadai. Padahal dua hal itu merupakan kebutuhan dasar lain warga. Selain tentu akses terhadap bahan pokok. Maka apa salah warga Rampi-- mengkritik dengan menyatakan akan pindah ke Sulteng?

 

Jika warga Rampi kecewa atau marah-- atas pernyataan Pak Gub. Harusnya itu dapat dimaklumi. Apalagi dengan sejumlah persoalan yang dihadapi warga Rampi-- dulu dan kini. Tapi saya harap ini tidak masuk ranah hukum. Jujur, saya malu rasanya jika terjadi demikian.

 

Sebaiknya, Pak Gub juga harus terbuka diri-- mengakui kekhilafan. Rasanya-rasanya itu tidak akan mengurangi apa-apa. Bahkan mengurangi elektabilitas juga tidak. Itu hanya bentuk pengakuan terhadap diri sendiri. Bahwa diri ini adalah tempatnya salah dan khilaf. Lagian Pak Gub, bulan syawal belum berakhir.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya