Dewan Penderitaan Rakyat

Pada suatu waktu pada tahun 2019 lalu, telepon saya berdering. Rupanya ada dua panggilan tak terjawab. Saya membuka untuk mengecek gerangan siapa yang menelfon. Barangkali penting. Dan benar saja, pada panggilan itu tertulis nama Bapak saya. Segera saya menelfon balik. Ini pasti ada sesuatu yang penting. Apalagi itu adalah nomor Bapak saya.

 

Beberapa saat berdering, Bapak mengangkat juga. Bapak memberitahu, jika orang-orang di kampung sedang marah. Katanya ada proyek pengerjaan jalan. Tanpa ada papan bicara. Yang ada hanya pemberitahuan kepada warga setempat. Lalu saya bertanya, apa gerangan yang akan dilakukan warga. Bapak bilang akan menghadap ke DPRD.

 

Kupikir itu adalah langkah tepat. Juga langkah berani. Sebab warga sudah mulai berpikir. Warga mulai mencari-cari para wakilnya di parlemen. Ini kedengarannya informasi yang sangat bagus. Harus menjadi catatan suatu hari. Saya jadi bersemangat mendengarnya. Warga yang kebanyakan tidak pernah sekolah itu sudah mulai bersuara. Mereka mulai kritis.

 

Keesokan harinya, saya kembali dihubungi. Bapak mengatakan jika sejumlah warga sudah berada di DPRD. Tapi mereka bingung. Harapan bertemu sang penyambung lidah rakyat tidak ada di tempat. Mereka pulang dengan rasa kecewa. Tapi tunggu dulu. Mereka tidak berhenti. Besoknya, mereka mendatangi lagi. Mencari lagi. Berusaha lagi.

 

Sampai akhirnya ditemui oleh anggota DPRD. Tapi bukan anggota DPRD kabupaten. Itu adalah anggota DPRD Sulsel. Mereka kemudian diarahkan kiri kanan. Mulai dari SKPD yang satu dengan SKPD yang lain. Para pejuang ini dibuat bingung. Mungkin sengaja. Entahlah. Dan akhirnya menyerah. Bapak kemudian menyampaikan satu hal yang membuat jantung saya berhenti sejenak.

 

"Para anggota DPRD itu tidak ada. Mereka memang menemui warga. Tapi rupanya tidak sesuai dengan harapan. Kami dilempar ke kiri dan ke kanan. Tidak ada kejelasan," katanya kepada saya melalui sambungan telepon. Saya menguatkan. Bahwa berjuang memang tidaklah mudah. Saya harus angkat topi kepada warga yang sudah berjuang itu. Sambungan telepon saya tutup.

 

Kupikir ini adalah penggalan cerita yang harus menjadi abadi. Harus menjadi bukti. Bahwa pernah ada "orang bodoh" yang tidak pernah sekolah mencari "orang-orangan" yang duduk di parlemen. Pernah ada "orang-orang bodoh" yang mencari keadilan kepada "orang-orangan" sebagai penyambung lidah rakyat. Tapi kemudian berbuah kekecewaan.

 

Rupanya kekecewaan itu tidak berhenti pada cerita itu saja. Hari pun masih berlanjut. DPR telah mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU Minerba, dalam Rapat Paripurna yang digelar Selasa (12/5). Salah satu dari sekian undang undang yang dibahas DPR dan pada dasarnya banyak dikecam. Karena undang undang itu tidak pro rakyat.

 

Pembahasannya sangat singkat. Sejumlah pasal didalamnya pun sangat kontroversial. Lihatlah misalnya pada pasal 45. Dalam pasal itu diatur mengenai kandungan mineral pada masa eksplorasi. Jika ada kandungan mineral lain yang tergali maka tidak akan terkena royalti. Ini adalah celah yang bisa menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebihan.

 

Kemudian pada pasal 169 A dan 169 B. Dalam pasal ini mengatur bagaimana pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dapat melakukan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa melalui lelang. Halow, ini aturan macam apa. Menurut Ekonom, Faisal Basri ini akan membuat para pengusaha tambang batu bara ongkang-ongkang kaki.

 

Mana lagi pasal 165 yang mengatur mengenai sanksi pidana bagi tindak pidana korupsi dalam proses pertambangan dihilangkan. Kan bangc*d ini namanya. Ini seperti ada perlindungan secara legal atas korupsi pada pertambangan. Sungguh mendidih darah saya ketika membaca ini. Ini bisa jadi adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap negara. Apalagi negara ini adalah negara hukum.

 


Jujur kami rakyat mengatakan bahwa, kami tidak anti tambang. Tidak juga anti korporasi tambang. Akan tetapi, sesuai dengan kaidah hukum dan tatanan ekonomi, sosial, ekologi, masyarakat adat yang terdampak tambang. Harusnya aturan semacam ini diperketat. Bukan malah diperlonggar seperti sekarang. Ini harus dilakukan evaluasi.

 

Sebab "jangan-jangan" ada pihak pertambangan yang bermain di Gedung Kura-kura. Ini sekedar hanya asumsi skeptis saja. Ini peringatan. Jangan sampai ada. Bahwa peringatan ini tanpa dasar. Kembalilah sejenak mengingat Negara Nauru. Pada tahun 1975, negara tersebut mendapatkan uang sebesar 2,5 miliar dolar yang menjadikannya negara dengan pendapatan tertinggi per penduduk di dunia.

 

Semua itu terjadi karena pertambangan fosfat dengan kualitas terbaik pada negara itu. Maka, kelonggaran pertambangan dilakukan. Terjadi eksplorasi dimana-mana. Tidak peduli pada dampak ekologi. Yang terpenting adalah uang, uang, uang, uang, dan uang. Akibatnya, setelah dilakukan pertambangan selama puluhan tahun, kondisi Nauru menjadi tandus dan kering.

 

Apa yang terjadi kemudian, pada tahun 2017, Nauru posisinya anjlok menjadi lima negara paling miskin di dunia. Maka dari itu, negara mesti belajar dari pengalaman Nauru. Para anggota DPR harus belajar. Anda semua adalah pemegang mandat rakyat. Anda diberikan hak untuk berteriak dengan lantang tentang kebenaran berbangsa dan bernegara.

 

Kemudian, tidak berhenti sampai disitu. Kekecewaan rakyat juga bertambah ketika DPR juga menyepakati Peraturan Pengganti Undang Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi Undang Undang. Ini sungguh melukai hati rakyat.

 

Sebab kita tahu bersama dalam Perppu yang kini sah menjadi undang-undang itu terdapat sejumlah keganjalan didalamnya. Pertama, rapat paripurna hanya dihadiri 41 orang secara fisik dan 255 orang secara virtual. Sementara 279 orang tidak hadir. Kupikir ini mengganjal sebab dalam pasal 232 dalam undang undang MD3 tidak dijelaskan kehadiran secara virtual.

 

Kemudian undang undang itu juga banyak melabrak undang undang yang lain. Diantaranya Undang Undang Dasar 1945. Pada pasal 23 ayat 1, 2 dan 3 dikatakan bahwa APBN dibahas setiap tahun dan harus mendapat persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Ini jelas dan tegas. Tapi dalam undang undang Covid-19 pada pasal 12 ayat 2 APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

 

Kemudian pada pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

 

Maka pasal bisa menjadi tamen terkait fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai badan pengawas keuangan negara ditiadakan. Bahkan kemudian pasal itu ditegaskan lagi pada ayat 2 yakni mengatur anggota KSSK TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Padahal dalam UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip penegakan supremasi hukum. Pada pasal 1 ayat 3 UUD misalnya, dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D.

 

Tapi kemudian sekonyong-konyong para anggota DPR yang terhormat itu mengesahkannya. Secara virtual pula. Bangc*d memang. Padahal DPR sesungguhnya adalah lembaga dengan tiga fungsi yakni fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan. Tapi jika mengacu dari rentetan kejadian di atas, masih pantaskah kita menyebut DPR dengan tiga fungsinya itu? Karena ibarat kata, legislatif dan eksekutif bagai pinang dibelah dua.

 

Maka dari itu, mungkin baiknya hari ini singkatan DPR itu kita ubah saja. Dari Dewan Perwakilan rakyat menjadi Dewan Penderitaan Rakyat, gimana?. Masih ingat dulu ketika Gusdur pernah menyindir DPR. Iya Presiden dengan banyak banyolan itu pernah mengatakan bahwa DPR itu seperti Taman Kanak-kanak (TK). Hahaha.

 

#Akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya