Postingan

Menghidupkan Kembali Tallo

Gambar
  Sebulan lalu; mungkin lebih, saya dihubungi teman --Ferdy. Seorang kawan yang bersahaja dan kawan berdebat yang elegan. Pertemuan saya dengan Ferdy murni karena kebetulan sekitar tahun 2016. Sebenarnya, saya kadang tidak sepakat dengan kata “kebetulan”. Tapi, dalam konteks tertentu kata itu dapat mewakili sebuah peristiwa yang sangat sulit dijelaskan. Ketika itu, komunitas yang baru dibentuk Ferdy; Ruang Abstrak Literasi, butuh donasi buku. Nantinya, akan disalurkan ke anak-anak pesisir di Tallo. Saya kemudian terlibat menyalurkan beberapa buku. Termasuk yang saya dapat berbagai teman lintas komunitas. Dan itu terus berlanjut hingga covid datang; program lalu jadi tidak teratur. Juga beberapa kawan yang terlibat tidak aktif. Ferdy mengaku sedang mengajukan proposal kegiatan di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX. Saya tentu menyambut baik itu. Apalagi, rencana lokasi dan tema yang diangkat sangat representatif; sejarah Tallo. Sebuah tema yang seringkali saya diskusikan denga

W Super Club

Gambar
  Pukul 22.00, harusnya sudah jadi waktu yang baik untuk istirahat. Apalagi, jika seharian sibuk bekerja dan berpikir. Jika mengacu pada sains; tidur 7 jam sangat baik, itu artinya bisa bangun jam 5 subuh. Tepat waktu sholat subuh. Itu sangat ideal. Tapi, kadang-kadang sesuatu yang ideal itu lebih teoritis. Sulit rasanya untuk terwujud dalam fakta perbuatan. Seperti malam tadi. Sejak kemarin sore, sudah beredar informasi pembukaan sebuah club malam; tempat happy-nya orang-orang berduit. Namanya W Super Club; begitu informasi itu terkirim digroup-group WA. Saya tidak gubris pada awalnya. Kupikir, diskusi-diskusi kecil diberbagai group WA itu masih wajar. Tentu karena pro dan kontra itu dinamika biasa. Lalu, hari ini saya membaca sebuah surat resmi yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah. Pada intinya, dalam surat itu, Muhammadiyah menolak kehadiran tempat clubbing itu. Saya kemudian mencermati betul soal ini. Beberapa data dan fakta saya kombinasikan. Saya tidak ingin gegabah. Terlalu

Silau Bahaya Dentuman Korea

Gambar
  Saya lupa waktunya. Tapi, saya tidak akan pernah saya lupa topiknya. Seorang mahasiswa mengajukan sebuah proposal. Diajukan untuk mendapat pendanaan. Saya juga lupa; apakah mahasiswa itu berhasil atau tidak mendapatkan pendanaan. Judul proposal itu menarik. Kurang lebih begini; Belajar Budaya Tabe dalam Drama Korea. Sejujurnya, saya tertegun. Lebih tepatnya kaget. Saya lalu mencari beberapa referensi tentang drama korea. Termasuk menonton salah satu diantaranya; tidak menghabiskan episodenya-- tidak sanggup. Saya beralih ke film. Beberapa saya nonton. Miracle in Cell No 7, Memories of Murder hingga Parasite. Dan, ya secara faktual, budaya tabe dalam drama korea maupun dalam filmnya cukup kental. Seperti membungkuk ketika bertemu orang baru atau kepada orang yang lebih tua. Ini sebagai bentuk penghargaan, menghormati, dan tafsiran lain yang sejenis. Sekilas, sikap itu mirip dengan budaya tabe pada suku Bugis Makassar. Tidak salah. Tapi soalnya kemudian, kenapa proposal itu ti

Menguji Sekolah

Gambar
  Siapa yang masih bingung setelah lulus sekolah; kemana? Jadi apa? Kerja apa? Jika ada diantara atau disekitar kita mengalami itu. Maka kemungkinan terjadi pada tiga hal; pertama sekolah gagal; kedua Anda yang gagal; ketiga semuanya gagal. Jika ingin jujur, itu adalah kegagalan yang sangat memprihatinkan. Ketika memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman. Lalu, berjuang sendirian di Kota Makassar tahun 2008, banyak ekspektasi yang saya bawa. Dan, itu bukan hanya dari dalam diri saya tapi juga ekspektasi dari keluarga hingga tetangga. Ketika ekspektasi itu gagal, maka sudah pasti ada konsekuensinya. Terutama secara mental. Banyak orang dapat membuktikan itu. Saya pernah gagal. Itu membuat saya tertekan. Tapi saya tidak menyerah. Saya bangkit lalu bertanya kepada apapun dan siapapun. Termasuk kepada diri saya sendiri. Apakah ketika selesai sekolah wajib berhasil menjadi karyawan atau pegawai negeri dan menghasilkan uang? Apakah itu tujuan dari sekolah? Jika begitu sederhananya

Merefleksi Kembali Tujuan Pendidikan

Gambar
  Saya ingat betul ketika saya memilih penelitian kualitatif untuk tesis; banyak tantangan. Salah satunya, datang dari dosen sendiri. Penelitian kualitatif dipandang tidak kuat secara riset untuk tema tentang prodi yang saya ambil. Itu tidak soal; kupikir. Sebab, itu perspektif yang barangkali punya landasan berpikir sendiri. Tapi, sejak itu pula, pikiran saya selalu bertanya. Apakah jenis penelitian yang agak asing atau kurang diminati dalam sebuah komunitas dapat dijadikan dasar bahwa hasil riset itu tidak kuat? Pertanyaan ini terus mengganggu saya. Tapi kemudian, beberapa literatur menyadarkan saya, bahwa hal yang semacam itu sangatlah kompleks. Sebuah wawancara yang publikasikan oleh endgame; kanal youtube milik Gita Wirjawan, pada akhirnya menjawab pertanyaan itu. Yanuar Nugroho salah satu narasumbernya; seorang aktivis dan akademis yang disegani. Seorang birokrat sejati. Pernah menjabat Deputi II Kepala Staf Kepresidenan. Lalu kini Koordinator Tim Ahli di Sekretariat Nasion

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Gambar
  Saya tidak tahan lagi; bangsat. Mohon maaf, pikiran saya sudah sangat kacau. Akibatnya, kata itu tidak bisa lagi saya bendung. Kata itu, pada dasarnya menolak untuk dikatakan. Tapi, harus dan terpaksa dikatakan. Saya teringat belasan tahun silam. Ketika, masih aktif di kampus dulu. Salah seorang senior, sering mengeluarkan kalimat satir. “Tidak perlu kau mati bunuh diri dengan meminum racun Bung tapi cukup kau tutup pintu kamar kost-mu lalu merenungkan bagaimana kau memperbaiki negara ini,” katanya. Kini kalimat itu, layak jadi pertimbangan --barangkali. Hihi. Hari-hari ini, dan hari-hari sebelumnya --dalam kurung 1 dekade ini. Kita rasanya tidak pernah bisa mendapati seorang negarawan sejati itu; sulit betul, yang cita-citanya membawa bangsa ini seperti burung garuda --terbang ke angkasa raya dengan menggenggam kejujurn dan keadilan untuk kesejahteraan rakyat. Dulu, pernah saya mengharapkan itu kepada seorang Fahri Hamzah. Saya terpikat betul kepadanya. Tiap ada wacana publi

Enigma Rencana

Gambar
  Siapa yang mampu mengatur waktu? Tentu tidak ada. Sebab, kita hanya berjalan di dalamnya. Dan terus-terusan begitu. Kita hanya menjalani waktu itu --sebagian kecilnya kita rencanakan, sebagian besarnya adalah misteri. Rencana juga, tidak semua mengatur waktu. Kadang, rencana hanya tinggal rencana. Dan begitulah awal pertemuan saya dengan Bang Hikmat Darmawan. Jumat pagi lalu, saya bangun seperti biasa --dengan rencana-rencana yang dibuat. Hari sebelumnya, saya berdiskusi dengan mahasiswa kampus mengajar --SMPN 1 Sesean. Di Toraja Utara. Jaraknya cukup menguras kesabaran, butuh waktu 30 menit, dengan kendaraan roda dua. Belum lagi jalannya --berlubang dan berliku. Saya berangkat --sedikit terburu-buru. Di rumah, saya belum sempat sarapan --nanti di depan Rektorat UKI Toraja. Di situ, ada dua penjual gado-gado. Juga penjual bubur kacang hijau. Langganan saya. Penjualnya sangat hangat, baik dan ramah. Walau, kami tidak saling tahu nama. Persetan soal nama, apalagi agama. Terpenting,